23.8 C
Bengkulu
Selasa, 8 Juli, 2025
More

    Kondisi Gapura, Potret Sengketa Tabat BU – Lebong

    Kondisi Gapura di wilayah perbatasan Bengkulu Utara (BU) – Lebong, mengisyaratkan fenomena krusial yang tengah melanda dua Kabupaten tetangga itu. Dibangun melalui APBD Kabupaten Bengkulu Utara pada Tahun 2017 lalu, fisik gapura senilai hampir satu miliar rupiah itu malah terkesan terbangkalai dan mangkrak. Begitupun bersamaan dengan sengketa batas wilayah, yang hingga saat ini masih bergulir di meja Pemerintah Provinsi Bengkulu. Kesan diam melanda eksekutif di bumi Ratu Samban. Belum lagi sengketa tapal batas, kejelasan status pembangunan gapura pun terkesan jalan ditempat. Seperti apa hiruk-pikuk soal sengketa tabal batas BU – Lebong dan kondisi proyek APBD untuk menetapkan zona perbatasan terluar di daerah ? Simak ulasan berikut :

    JHONY ISKANDAR – ANALIS JURNAL

    Putusan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 20 tahun 2015, tampaknya belum menyelesaikan sengketa batas wilayah. Perebutan teritorial zona perbatasan yang mendiami 5 desa itu, masih bergulir di meja mediasi Pemprov Bengkulu. Teranyar, Kamis (7/4) dua badan eksekutif daerah kembali mengikuti agenda mediasi yang difasilitasi oleh Pemprov Bengkulu. Kekecewaan terpantik dari Bupati Lebong, Kopli Ansori kepada pucuk pimpinan eksekutif di Bengkulu Utara. Dimana Bupati BU, Ir. H Mian maupun perwakilan malah mangkir dari undangan mediasi soal tapal batas tersebut.

    Secara prinsip, Kabupaten Lebong banyak menuai kerugian pascaPermendagri soal tapal batas BU – Lebong diterbitkan. Disatu sisi, Lebong kehilangan zona daerah pilihan (dapil) berikut ribuan masyarakat yang berdomisili di lima desa di wilayah perbatasan itu. Disisi lain yang paling krusial, dana APBD Lebong yang mencapai diangka Rp 50 miliar untuk pembangunan aset di wilayah eks Padang Bano (versi Lebong, red) dan sekitarnya malah terkesan hilang tanpa jejak.

    Gemuruh memperjuangkan wilayah eks Padang Bano kembali ke bumi Swarang Patang Stumang pun, kembali mengema.

    Reco salah satu pemuda sekaligus praktisi hukum di Kabupaten Lebong, turut mendukung pergerakan Pemkab Lebong bersama sejumlah organisasi masyarakat.

    “Saya menilai, pergerakan ini lebih kepada kepentingan ribuan masyarakat di wilayah tapal batas itu. Mengingat pascakembali ke Bengkulu Utara, kesan terisolir malah melekat,” cetus pria ini.

    Bupati Lebong, Kopli Ansori mengutarakan persoalan tapal batas ini sangatlah vital. Karena tak sedikit anggaran yang dikucurkan melalui APBD Kabupaten Lebong, untuk membangun wilayah Padang Bano (versi Lebong, red).

    “Permendagri Nomor 20 tahun 2015 soal tapal batas Lebong – Bengkulu Utara, mengisyaratkan cacat hukum. Sehingga kami dalam hal ini eksekutif Lebong meminta itu direvisi karena ada beberapa point tidak menunjukkan daerah-daerah yang arahnya ke Kabupaten Lebong,” pintanya.

    Politisi yang memiliki kans kuat di daerah itu menegaskan, Pemkab Lebong memiliki dasar kuat untuk memperjuangkan eks Padang Bano dan 4 desa lainnya. Dasar ini mengacu kepada permendagri 39 Tahun 2003. Dimana dalam Permendagri itu tertera luas wilayah Kabupaten Lebong adalah 1929,64 Kilometer Persegi.

    “Namun berbanding terbalik dengan Permendagri Nomor 20 Tahun 2015. Dimana luas Kabupaten Lebong hanya 1700 sekian. Maka ini yang harus kita bahas. Soal keadilan kepada masyarakat di tapal batas. Yang notabene secara program pembangunan dari Pemkab Bengkulu Utara, malah belum tersentuh. Yang jelas, kami sangat kecewa dan saya menilai Mian tidak gentleman dalam menyikapi intruksi Mendagri ini,” ucapnya.

    Benang merah, soal sengketa tapal batas ini pun turut melekat kepada program di tubuh APBD Bengkulu Utara. Dimana, proyek gapura Tabat BU – Lebong sudah 4 tahun lamanya dibiarkan mangkrak tanpa adanya kejelasan kelanjutan pembangunan. Kondisi ini pula memantik reaksi sejumlah tokoh krusial di Kabupaten Bengkulu Utara.

    Rizki Jaya salah satunya. Tokoh pemuda sekaligus tokoh politik di Bengkulu Utara turut mendesak agar Pemkab BU lebih mengedepankan prinsip dan etos program yang baik. Berkaca dengan proyeksi kegiatan di zona tapal batas itu, kesan gagal perencanaan kian ketara.

    “Sumber dana dari masyarakat. Maka perlu diselesaikan, setiap program yang dijalankan,” pintanya.

    Disisi lain, fenomena sengketa sosial pun harus pula diselesaikan. Persoalan kebutuhan masyarakat di bidang infrastruktur di wilayah tapal batas, kendati masih bersengketa tentu harus diselaraskan dan diakomodir. Begitu pula menyangkut program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang kontras belum terselesaikan.

    “Kualitas seorang pemimpin dilihat dari seberapa mampu dia menyelesaikan, suatu permasalahan. Khususnya menyangkut masyarakat luas,” tandasnya. (**)

    Berita terbaru
    - Iklan -spot_img
    Related news

    TINGGALKAN KOMENTAR

    Silakan masukkan komentar anda!
    Silakan masukkan nama Anda di sini