ISTILAH “Tikus berdasi”, makna kiasan yang bukan lagi menjadi rahasia khusus, namun telah dipahami dengan baik oleh seluruh masyarakat. Kosakata tikus berdasi, tentu dimaknai dengan bersembunyi di balik kursi kebesaran, dengan argumen demi memperjuangkan kepentingan rakyat. Ialah, elit-elit di singgasana namun berkedok semakin membumi untuk mencari simpati masyarakat. Namun sebaliknya, semakin membumi menggerogoti pundi-pundi kertas bernilai diluar dari hak mereka. Menggerogoti uang rakyat sedikit demi sedikit, hingga kemudian habis tak tersisa.
Meski dalam kalender, tepat pada 9 Desember didaulat sebagai Hari Antikorupsi Sedunia. Namun, peringatan tersebut hanyalah sebuah seremonial biasa tanpa makna tersirat.
Pergerakan tikus berdasi, sangat berpotensi dan besar kemungkinan semakin menjadi-jadi di bumi Raflesia. Begitupun pejabat elit di setiap daerah.
Dasar argumen, berkaca dengan sederet kasus rasuah yang telah menjerat pucuk pimpinan di Provinsi Bengkulu ini. Kedepan, apakah praktik tikus berdasi dapat dihentikan atau semakin meraja-lela? Itu rahasia dan hanya Aparat Penegak Hukum lah yang dapat menentukan.
Lebih dipertajam, Tikus berdasi yang berarti pengeksekusi praktik korupsi tentu terjadi karena adanya kesempatan dan jabatan yang dimiliki tersebut sangat strategis untuk melakukan tindakan korupsi. Selain faktor itu, tentu ada faktor-faktor lain. Seperti halnya lemahnya ketertiban hukum, proyek yang melibatkan dana besar, kampanye politik yang terlalu besar, gaji yang terhitung masih sedikit, dan juga faktor dari internal yaitu gaya hidup keluarga koruptor tersebut.
Penulis : Jho ANALIS JURNAL