29.4 C
Bengkulu
Sabtu, 4 Mei, 2024
More

    Cerpen : Demi Tugas, maafkan ayah nak

    Karya : Joni Iskandar

    “Ibu, dua hari lagi ayah akan ditugaskan di daerah perbatasan. Kemungkinan ayah akan lama kembali. Ibu jaga adek ya,” aku berujar seraya berkemas.

    “Iya ayah. Ayah baik-baik ya disana. Kalau ada waktu luang, jangan lupa kabari ibu dan adek,” istriku Nur mendekati ku.

    Ku peluk erat istri dan anakku. Tak terasa, air mata telah membasahi pipi. Netra istriku terlihat sayu. Tentu perasaan yang sama menyelimuti kami. Perasaan yang nantinya diselimuti rindu dengan anak, istri rindu suaminya dan begitu pula sebaliknya.

    “Dedek jaga diri baik-baik ya. Jaga ibu, jangan tinggalkan sholat,” ku kecup kening anakku yang masih berusia 6 Tahun. dekapan ku semakin kuat. Sama sekali tak ingin aku melepaskan pelukan ini.

    Sebagai seorang prajurit TNI, tegas, disiplin, dan sigap di segala situasi dan kondisi sudah tertanam dalam sanubari. Sebagai seorang prajurit, harus selalu siap ditempatkan di manapun dan kapan pun.
    Di segala kondisi, mau tidak mau harus rela berpisah dengan keluarga dan orang-orang terdekat untuk sementara waktu. Hal tersebut terkadang membuat kehilangan momen-momen berharga bersama orang terdekat.

    Waktu keberangkatan pun tiba.

    Sanak saudara sudah tampak berkumpul di kediaman ku. Sebelumnya, memang sudah ku kabari soal penugasan ku ke wilayah perbatasan. Diluar diprediksi, semua keluarga besar berkumpul untuk mengantarkan kepergian ku demi tugas negara. Bahkan keluarga nun jauh disana yang sampai memakan waktu seharian untuk sampai ke rumahku juga telah berkumpul.

    “Baktimu demi negara, nak. Jangan kau balut batinnya dengan perasaan bersalah. Meski memang bapak tahu, sangat berat kau meninggalkan istri dan anakmu. Semuanya itu menjadi tanggungjawabmu. Tanggungjawab sebagai seorang prajurit dan sebagai seorang ayah dan suami,” bapakku yang juga pensiunan prajurit menasihatiku. Begitu pula mertua ku turut memberikan petuah sebelum keberangkatanku.

    Tak kuasa ku menahan gejolak di batin. Nasihat dan petuah orang tua ku, sungguh menyayat hati. Tak ada pilihan. Disana tugas sebagai seorang prajurit menanti dan disini ada anak dan istri beserta orang tua yang dengan berat hati harus ku tinggalkan.

    Ku basuh air mata dengan baju lorengku. Aku harus kuat. Istri dan anakku juga harus kuat dan ikhlas melepas kepergianku.

    Semua keluarga berduyun-duyun mengantar ku ke bandara. Dalam kendaraan yang penuh sesak keluarga, aku mencoba untuk menghibur anak dan istriku. Meski ku tahu, sangat berat untuk perpisahan yang cukup lama ini.

    Bandara, tempat pertemuan terakhir kami pun tiba. Tampak pula rekan ku sesama prajurit ramai diikuti para keluarga. Sudah pasti untuk momen yang sama. Melepas rindu untuk terakhir kali, hingga bakti prajurit lepas dalam tugas.

    “Ingat pesan bapak. Dimanapun kau berada, selalu ingat Tuhan,” bapak dan mertua ku kembali memberikan petuah.

    “Insha Allah akan ku tanam dalam benak.”

    “Semua prajurit berkumpul,” komandan batalyon menginstruksikan untuk merapat. Untuk melakukan salam penghormatan sebelum melepas prajurit bertugas. Ku tinggalkan istri dan anakku berikut para keluarga.

    Tatapan kami terutama istri dan anakku semakin lekat. Hingga sayup-sayup pandangan ke mereka menghilang diantara barisan prajurit.

    “Sebelum keberangkatan kalian, silahkan berpamitan kepada keluarga,” usai salam penghormatan, kami kembali diarahkan untuk menemui keluarga.

    Segera, ku langkah kan kaki untuk melihat kembali istri, anak dan keluarga.

    “Ayah,” sahut suara adek, memanggil ku dari kejauhan.

    Ku bergegas berlari, ku dekap erat tubuh anakku. Pelukan ini sangat hangat.

    “Sini buk,” istriku mendekati ku dan ku peluk mereka dengan erat.

    “Jagoan ayah, ingat selalu pesan ayah ya. Jaga ibu dan jangan lupa sholat,” berulang kali ku cium wajah anakku.

    “Ibu, ayah titip Vino. Perpisahan kita tak lama. Ayah pasti kembali selepas selesai tugas.”

    “Iya ayah, ayah disana harus jaga kesehatan. Sholat jangan ditinggalkan,” istriku memberi pesan, pesan yang membuat netra ku kembali berkaca-kaca.

    Suasana itu, membuat kami larut dalam kesedihan. Kesedihan yang sangat menyiksaku.

    Panggilan untuk merapat ke armada transportasi terdengar. Satu-persatu prajurit termasuk aku, masuk kedalam pesawat yang akan mengantarkan kami ke tempat bertugas.

    “Dadah ayah….,” jagoanku berteriak seraya melambaikan tangan.

    Ku balas lambaian tangan lembut anakku. Buah hatiku satu-satunya

    “Ayah akan segera pulang nak,” aku berkata dalam batin.

    Sepuluh bulan kemudian….

    Dikediaman ku

    “Ibu, kapan ya ayah pulang?”.

    Setiap petang jelang magrib. Buah hati ku selalu duduk di antara sekat kamar dan pintu depan. Karena setiap masuk waktu magrib, suamiku selalu mengajak kami bertiga menjalankan ibadah sholat di masjid. Namun sudah hampir satu tahun, langkah kaki kami bersama menuju masjid terpaksa ditunda. Sungguh sangat rindu momen itu.

    “Sebentar lagi dek. Adek berdoa saja ya, semoga ayah cepat pulang,” aku mencoba menenangkan anakku yang meski hati ku pun juga tak tenang menanti kepulangan suamiku.

    Jam berganti hari, hari berganti bulan. Setiap jelang magrib, anakku selalu duduk termenung di pintu depan rumah. Menunggu kepulangan ayahnya, kepulangan suamiku.

    “Ayah belum juga pulang ya buk,” anak ku merenggek seraya menatap foto ayahnya di handphone milik ku.

    Mata anakku tampak membulat sayu. Sepertinya anakku baru saja menitihkan air mata. Namun ia berhasil menyembunyikan netranya yang telah membasahi pipi.

    “Sebentar lagi ayah pulang dek,” aku bergegas menghampiri anakku. Ku dekap erat butuh anakku.


    “Lettu Umar.”

    “Siap ndan”

    Aku berdiri dari pos penjagaan. Segera ku sambut kedatangan komandan di batalyon ku.

    “Kau seorang prajurit?”

    “Siap, selalu komandan”

    “Ingat sumpah prajurit?”

    “Siap, selalu komandan,” sahutku dengan tegas.

    “Tegas, disiplin dan sigap, itulah sifat prajurit. Diantara sifat itu, prajurit di didik untuk tidak cengeng.”

    “Siap, selalu komandan.”

    “Lettu Umar.”

    “Siap Komandan,” sahut ku kembali.

    “Mohon maaf komandan, siap perintah ndan,” timbul pertanyaan dalam benakku soal kedatangan komandan menemui ku.

    “Sudah paham kah kedatangan ku menemui mu, Lettu Umar?”

    “Siap, belum komandan.”

    “Ingat sebagai seorang prajurit, kita juga dilatih untuk kuat dan tegar,” mata komandan menatap tajam ke wajah ku.

    “Siap, selalu komandan.”

    “Tadi pagi, aku menerima kabar. Kabar yang pastinya sama-sama tidak ingin kita inginkan. Keluargamu mengirimkan pesan kepada ku, jika anak mu pada waktu subuh menghembuskan nafas terakhir. Ia mengalami penyakit leukemia,”

    “Ha….”

    Aku seketika membisu. Sama sekali tak percaya atas apa yang disampaikan komandan ku. Karena terakhir kali kami bertemu, anak ku sama sekali tidak menunjukan gejala sakit apapun.

    “Kabar ini benar, Lettu Umar. Ingat sebagai seorang prajurit harus tegar dan kuat. Namun kita pun oleh yang maha kuasa juga diberikan hati dan perasaan. Gunakan hati dan perasaan mu di waktu yang tepat,” komandan menepuk pundakku seraya menunjukan foto pusara anakku.

    “Kamu yang sabar, kamu harus kuat.”

    “Siap komandan.”

    Ingin ku sembunyikan kesedihan yang teramat menyakitkan dihadapan komandan ku. Namun hati dan perasaanku sama sekali tidak kuat untuk menutupinya.

    Tak terasa, seragam kebanggaan ku basah diderai air mata. Ku berlari meninggalkan komandan untuk masuk ke barak (kamar prajurit). Ku raih buku di atas lemari. Lembar demi lembar buku itu ku buka, ku temukan foto kami bersama. Ku pandang lekat wajah anak ku.

    “Maafkan ayah nak. Ayah tak ada disampingmu,” ku menanggis sejadi-jadinya. Teman sesama prajurit mendekati dan mencoba menenangkan ku.

    “Kuatkan hatimu sahabat. Kami sangat merasakan apa yang kau rasakan. Ini ada sedikit kabar baik untuk mu. Beberapa hari kedepan, kau dibebas tugaskan,” Lettu Asep sahabatku merangkul pundakku. Sahabat ku sesama prajurit lainnya turut mendekap erat tubuhku.

    “Lettu Umar, segeralah bergegas. Besok kau dibebas tugaskan. Jangan berterimakasih padaku. Ini semua berkat sahabat di sekelilingmu. Mereka telah sepakat memberikan waktu libur tugas mereka,” komandan berdiri di hadapanku.

    Air mataku semakin tak terbendung. Rasa haru atas apa yang dilakukan sahabatku sesama prajurit ditimpal rasa duka, semakin membuat ku hanyut dalam kesedihan yang mendalam.

    “Sampaikan salam kami kepada keluarga mu dikampung, Lettu Umar,” ucap komandan.

    “Siap komandan,” ucapku terbata-bata.

    Dua hari kemudian…

    Langkah kaki ku gontai menuju halaman rumah. Tenda masih terpasang di depan rumah.

    “Assalamualaikum,” sahut ku dari luar rumah.

    “Waalaikum salam.”

    Istriku berlari ke arah ku. Setelah satu tahun lebih bertugas, kembali ku rasakan pelukan hangat seorang wanita yang ku halalkan 8 tahun lalu. Seorang wanita yang sangat setia dan ikhlas ditinggalkan seorang pria bertahun-tahun lamanya.

    “Ayah, Vino sudah…..” istriku tak mampu lagi berkata-kata. Air matanya berlinang membasahi pipi.

    Aku sejenak terdiam. Ingin sekali aku menangis, meluapkan rasa duka yang teramat menyayat hatiku. Luka yang lebih parah dari peluru tajam. Namun aku sekuat tenaga menahan agar tetesan air mata tak turun dari netra. Tak ingin istriku semakin berlarut dalam kesedihan. Kasihan melihat istriku semakin larut dirundung pilu.

    “Vino sudah tenang disana ya buk. Vino sudah tidak merasakan sakit lagi. Ibuk harus ikhlas karena ayah sudah mengikhlaskan suratan takdir ini,” ku peluk erat tubuh istriku. Air mata ku seketika tumpah. Sekuat-kuatnya aku di didik untuk menjadi prajurit, namun perasaan batin sebagai seorang ayah tak dapat dibohongi.

    Ku usap air mata yang jatuh dari netra dan membasahi pipi. Ku kuatkan langkah, ku topang tubuh layu istriku. Ditemani salah satu saudara, kami bergegas menuju tempat peristirahatan terakhir anakku.

    “Makam Vino ada diseberang sana mas,” saudaraku Riki menunjukan keberadaan batu nisan anakku.

    Ku berlari sekencang-kencangnya menuju tempat peristirahatan terakhir anakku Istriku terduduk layu di atas mobil.

    “Allahummaghfir lahu Wathan hu wa’aafi hii wa’fu Anhu.”

    “Ya Allah! Ampunilah anakku, berilah dia rahmat-mu, kesejahteraan, serta maafkanlah kesalahannya.”

    “Ya allah jadikan anak ku yang telah kau panggil, menjadi penunggu kami dalam surgamu.”

    “Adek sudah tenang disana. Adek tidak merasakan sakit lagi ya. Tunggu ayah dan ibu, kita akan berkumpul kembali suatu saat nanti ya dek.”

    Berita terbaru
    - Iklan -spot_img
    - Iklan -spot_img
    - Iklan -spot_img
    - Iklan -spot_img
    Related news

    TINGGALKAN KOMENTAR

    Silakan masukkan komentar anda!
    Silakan masukkan nama Anda di sini